Sewaktu saya menyusun artikel tentang MIT OCW, secara tidak sengaja saya membuka dan membaca salah satu artikel bagus tentang branding. Judulnya, “How Starbucks Transformed Coffee From A Commodity Into A $4 Splurge” (terj: Cara Starbucks mengubah kopi dari sebuah komoditas menjadi kemewahan senilai $4). Di dalam tulisan yang terbit pada tahun 2011 di majalah Fast Company ini, Debbie Millman mewawancarai seorang tokoh bernama Stanley Hainsworth, pria dengan segudang jabatan dan pengalaman prestisius di perusahaan top dunia seperti Nike, Lego, Starbucks, dan Gatorade.
Dari semua pertanyaan yang diajukan oleh Debbie Millman dalam sesi wawancara tersebut, ada satu pertanyaan penting yang layak untuk diangkat dan diketahui oleh semua pembaca situs tercinta ini. Berikut pertanyaan yang saya maksud:
“What is the most important aspect to consider when creating a brand?”
(baca: “Aspek apakah yang paling penting untuk dipertimbangkan ketika menciptakan sebuah “brand”?)
Jawaban Stainley:
“For me, it’s all about having a STORY to tell. This is what will enable you to create an experience around the brand.”
(baca: “Bagi saya, yang terpenting adalah adanya sebuah CERITA yang hendak dipaparkan. Inilah yang akan memungkinkan Anda untuk menciptakan sebuah kesan terhadap brand itu sendiri.”)
Sesaat setelah membaca jawaban Stanley Hainsworth tadi, saya langsung terkejut. “Bukankah semua pengusaha muslim juga memiliki latar belakang atau cerita dibalik pendirian perusahaan atau bisnisnya?” begitu gumam saya, “Apakah para pengusaha muslim juga sudah tahu tentang ini? Bahwa latar belakang atau sejarah pendirian perusahaan mereka justru merupakan aspek terpenting untuk menciptakan brand bagi perusahaannya.” Wow. Kalau memang benar begitu. Saya harus menuliskannya di situs ini.
Microsoft & Starbucks
Lebih lanjut Stanley menjelaskan bahwa “story” yang ia maksud di sini adalah kisah sang pendiri (founder) dalam mendirikan perusahaannya atau bisa juga alasan penting di balik pembuatan sebuah produk. Stanley mencontohkan Microsoft, sebuah perusahaan besar dengan pendapatan dan keuntungan yang luar biasa besar tapi “kecil” dari segi “emosional”. Menurut Stanley, Microsoft adalah contoh perusahaan yang sepertinya kekurangan “cinta”, bahkan dari penggunanya sendiri. Memang pengguna Microsoft di dunia sangat melimpah, tapi mereka sepertinya menggunakan semua produk Microsoft hanya karena kebutuhan dasar semata, tanpa adanya ikatan emosional yang cukup berarti. Padahal sejatinya, Microsoft pun memiliki sebuah cerita yang sangat luar biasa pada saat pendiriannya. Baik itu cerita tentang kehidupan dan perjuangan pendirinya, Bill Gate, maupun tentang perusahaan itu sendiri.
Kondisi yang berbeda bisa dijumpai pada perusahaan besar lainnya, Starbucks, salah satu perusahaan yang pernah mempekerjakan Stanley. Menurut Stanley, Starbucks adalah contoh perusahaan besar yang mampu menggunakan sejarah pendiriannya untuk menjalin hubungan emosional dengan pelanggannya di seluruh dunia. Karena pada saat meminum kopi di kedai Starbucks, para pelanggan tersebut tahu bahwa kopi mahal yang sedang mereka nikmati saat ini memang dibuat dengan standar racikan kopi tertinggi ala pendiri Starbucks, yang kebetulan memang sangat prihatin dengan rasa sekaligus cara secangkir kopi disajikan di era pra-Starbucks.
Yoad dan Jaket ADN Adrenalin
Wawancara di Fast Company ini mengingatkan saya tentang sebuah advertorial dari pemilik Jaket ADN Adrenalin, Yoad Nazriga Sunarto di Majalah PM edisi 28. Di dalam iklan sepanjang dua halaman tersebut, sang pemilik usaha konveksi pelindung tubuh pengendara motor ini justru lebih banyak menceritakan awal mula (baca: history) perjuangannya dalam membangun dan mengembangkan bisnisnya, alih-alih sibuk mempromosikan produk-produk jaketnya. Saya tidak tahu apakah Pak Yoad juga sudah tahu tentang rahasia branding dari Tuan Stanley di atas. Tapi yang jelas, sebagai pembaca sekaligus penulis untuk Majalah PM saya merasa kaget dengan “kebetulan” ini. Menceritakan sejarah berdirinya perusahaan Anda yang bisa berkembang tanpa proses hutang-piutang di Bank di Majalah yang memang sangat anti dengan hutang bank, yang terkadang sangat penuh dengan nuansa riba, adalah bentuk pencitraan yang luar biasa cerdas. Salut buat sang pemilik dan siapapun yang berada di balik ide tersebut. Itu tadi Pak Yoad, lalu bagaimana dengan Anda dan saya?
Pengusaha Muslim tentu punya sejarah bukan?
Kalau di atas tadi Stanley sudah menyinggung Starbucks dan Yoad Nazriga sudah mempraktikkan teori tersebut di Majalah PM, lalu bagaimana dengan Anda semua wahai para pengusaha muslim? Anda yang memiliki warung kopi, “adakah cerita spesial di balik berdirinya kedai kopi itu?” Anda yang membuka warnet di salah satu pusat kos-kosan mahasiswa di Yogya, “adakah sejarah unik di balik pendirian warnet itu?” Anda yang mendirikan laundry, “punyakah sesuatu untuk diceritakan kepada pelanggan Anda?” Anda yang sedang berjuang mendirikan sebuah distro kaos, “adakah sebuah ketidakbiasaan di balik berdirinya distro kaos tersebut?”. Lalu bagaimana dengan Anda yang mencoba merilis sebuah racikan obat herbal terbaru. Atau Anda yang datang dengan sebuah helm dengan desain unik dan tiada peniru. Atau Anda yang sudah membuat penerbitan buku sendiri. Atau Anda yang sedang mempersiapkan Breadtalk versi Anda sendiri. Tentunya Anda semua punya sejarah bukan? Lalu tunggu apalagi. Kalau memang punya sejarah unik, maka jadikanlah sejarah tadi sebagai titik tolak untuk mengembangkan brand Anda. Lalu sebarluaskan sejarah Anda ke semua pelanggan Anda. Buat mereka semua bangga terhadap Anda supaya mereka jadi mudah untuk menceritakan ulang sejarah unik tersebut ke teman, kolega atau keluarganya.
Sungguh tidak disangka. Aspek terpenting dalam membuat sebuah brand ternyata adalah sejarah pendirian perusahaan itu sendiri. Ini adalah hal penting. Para pengusaha muslim harus tahu tentang ini. Masyaallah. Sungguh sederhana. Cuma sejarah toh …
Semoga bermanfaat. Selamat mengeksekusi sejarah masing-masing. Bismillah.
17:00 PM, 22 Juli 2012 Pone, Kabupaten Gorontalo